Indonesia merupakan
negara yang besar, terdiri dari banyak
pulau yang dimana sebagian besar memiliki penghuni. Kondisi inilah
membuat Indonesia kaya akan suku, agama, kebudayaan dan identitas kedaerahan
yang sangat majemuk. Oleh karenanya untuk menyatukan keberagaman masyarakat
Indonesia dibutuhkan hukum agar kehidupan masyarakat menjadi lebih seragam,
terarah, dan jelas. Hukum yang dimaksud adalah hukum nasional yang berlaku
secara keseluruhan di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia yang berlandaskan
Pancasila. Dalam kehidupan sehari-hari seiring dengan perkembangan zaman
kebutuhan masyarakat semakin kompleks dan hal ini mengharuskan hukum juga harus
tetap berkembang mengikuti perkembangan zaman sesuai dengan tuntutan kebutuhan
masyarakat dalam menunjang dan menjamin keamanan serta kenyamanan masyarakat .
Maka pembangunan hukum nasional merupakan keniscayaan yang mesti diterima oleh
bangsa Indonesia.
Apakah yang dimaksud
dengan pembangunan hukum nasional?
Pembangunan sering diidentikkan dengan pengembangan, penataan,
pemantapan kembali, peninjauan, dan evaluasi. Hukum sendiri adalah peraturan
yang berupa norma dan sanksi yang dibuat dengan tujuan untuk mengatur tingkah
laku manusia, menjaga ketertiban,
keadilan, dan mencegah terjadinya kekacauan. Jadi pembangunan hukum nasional
adalah penataan tata hukum yang bersifat nasional yang mengupayakan agar hukum
tersebut tetap ada dan berkembang sesuai dengan tuntutan kebutuhan masyarakat
dalam menjamin keamanan dan kenyamanan masyarakat di suatu negara.
Pembangunan hukum
nasional bertujuan untuk memperbaiki hukum yang ada manakala hukum tersebut
sudah tidak sesuai lagi dengan kebutuhan masyarakat dan membuat hukum baru yang
di sesuaikan dengan perkembangan zaman dan kebutuhan masyarakat. Disamping itu
pembangunan hukum diperlukan agar penegakan/supermasi hukum terlaksana dengan
tepat sehingga bisa mengatur kehidupan masyarakat sesuai dengan yang
seharusnya.
Fungsi pembangunan
hukum secara umum ada 2, yaitu sebagai social control (kontrol sosial) dan
social engineering (perekayasa sosial).
a. Social
control (kontrol sosial)
Pada taraf kehidupan bersama, pengendalian social merupakan suatu
kekuatan untuk mengorganisasi tingkah laku sosial budaya. Pengendalian sosial
terjadi apabila suatu kelompok menentukan tingkah laku kelompok lain, atau
apabila kelompok mengendalikan anggotanya atau kalau pribadi-pribadi
mempengaruhi tingkah laku pihak lain. Dengan demikian pengendalian social
terjadi dalam tiga taraf yakni:
1. kelompok terhadap kelompok
2. kelompok terhadap anggotanya
3. pribadi terhadap pribadi
Dengan kata lain pengendalian social terjadi apabila seseorang diajak
atau dipaksa untuk bertingkah laku sesuai dengan keinginan pihak lain, baik
apabila hal itu sesuai dengan kehendaknya ataupun tidak. Jika dikatakan
pengendalian social itu memiliki unsur pengajakan atau pemaksaan kehendak
kepada pihak lain, maka kesiapan pihak lain itu untuk menerimanya sudah tentu
didasarkan kepada keadaan-keadaan tertentu. Pengendalian social bertujuan “ to
bring about confirmaty, solidarity, and continuity particular group or
society”. Dalam hal ini, Soerjono Soekanto dan Heri Tjandrasari juga secara
rinci menyusun klasifikasi sederhana terhadap tujuan-tujuan pengendalian
social, yaitu:
1. yang tujuannya bersifat eksploitatif, oleh
karena dimotivasikan kepentingan diri, baik secara langsung maupun tidak
langsung.
2. yang
tujuannnya bersifat regulative, oleh karena dilandaskan pada kebiasaan atau
adat istiadat.
3. yang tujuannya bersifat kreatif atau
konstruktif, oleh karena diarahkan pada perubahan social dan bermanfaat.
Melihat dari klasifikasi yang dirumuskan oleh kedua
tokoh di atas, maka
ketiga-tiganya memerlukan sarana untuk
pengaturannya. Sarana untuk pengendalian sosial itu dapat berbentuk badan-badan
yang bersifat institusional maupun noninstitusional, tergantung kepada tujuan
yang hendak dicapai. Yang bersifat institusional salah satu diantaranya adalah
hukum. Hukum merupakan lembaga pengendali sosial yang memiliki kekuatan. Dapat
kita bayangkan jika kekuatan hukum sebagai lembaga pengendali sosial ini pudar,
maka tingkah laku masyarakat (baik kelompok maupun individu) menjadi tidak
stabil dan kita tidak dapat membayangkan keadaan masyarakat itu untuk
selanjutnya. Oleh karena itu, hukum diartikan sebagai “kontrol sosial” dan
berhubungan dengan pembentukan dan pemeliharaan aturan-aturan sosial.
Analisa ini berpijak pada kemampuan hukum untuk mengontrol
perilaku-perilaku manusia dan menciptakan suatu kesesuaian didalam
perilaku-perilaku tersebut. Sering dikatakan bahwasanya salah satu
karakteristik hukum yang membedakannya dari aturan-aturan yang bersifat
normatif ialah adanya mekanisme kontrol yaitu yang disebut sebagai sanksi.
Dari pemaparan
diatas maka dapat saya simpulkan bahwa fungsi hukum sebagai sosial kontrol adalah
aturan-aturan yang di buat untuk memberikan batasan-batasan kepada pribadi
ataupun kelompok sebagai acuan dalam bertingkahlaku dalam masyarakt sehingga
bisa tercipta keselarasan, keamanan dan kenyaman yang di kehendaki.
b. Social
engineering (perekayasa sosial)
Menurut pendapat Rusli Effendi (1991: 81), yang
menegaskan bahwa "Suatu masyarakat di manapun di dunia ini, tidak ada yang
statis. Masyarakat manapun senantiasa mengalami perubahan, hanya saja ada
masyarakat yang perubahannya pesat dan ada pula yang lamban. Di dalam
menyesuaikan diri dengan perubahan itulah, fungsi hukum sebagai a tool of
engineering, sebagai perekayasa sosial, sebagai alat untuk merubah masyarakat
ke suatu tujuan yang diinginkan bersama, sangat berarti". Penegasan Rusli
Effendy tersebut di atas, menunjukkan bahwa hukum sebagai alat rekayasa sosial
sangat diperlukan dalam proses perubahan masyarakat yang di manapun senantiasa
terjadi, apalagi dalam kondisi kemajuan yang menuntut perlunya
perubahan-perubahan yang relatif cepat. Fungsi Hukum sebagai alat rekayasa
sosial ini, juga sering disebut sebagai a tool of engineering yang pada
prinsipnya merupakan fungsi hukum yang dapat diarahkan untuk merubah pola-pola
tertentu dalam suatu masyarakat, baik dalam arti mengokohkan suatu kebiasaan
menjadi sesuatu yang lebih diyakini dan lebih ditaati, maupun dalam bentuk
perubahan lainnya. Perubahan lainnya dimaksud, antara lain menghilangkan suatu
kebiasaan yang memang sudah dianggap tidak sesuai dengan kondisi masyarakat,
maupun dalam membentuk kebiasaan baru yang dianggap lebih sesuai, atau dapat
mengarahkan masyarakat ke arah tertentu yang dianggap lebih baik dari
sebelumnya.
Sejalan dengan ini, Soleman B. Taneko mengutip pendapat Satjipto
Rahardjo menyatakan bahwa "Hukum sebagai sarana rekayasa sosial, innovasi,
sosial engineering, menurut Satjipto Rahardjo, tidak saja digunakan untuk
mengukuhkan pola-pola kebiasaan dan tingkah laku yang terdapat dalam
masyarakat, melainkan juga untuk mengarahkan pada tujuan-tujuan yang
dikehendaki, menghapuskan kebiasaan-kebiasaan yang dipandang tidak perlu lagi,
menciptakan pola-pola kelakuan baru dan sebagainya".
Adanya pandangan agar hukum dapat membentuk dan merubah suatu keadaan
dalam masyarakat sebenarnya telah lama dikembangkan oleh seorang sarjana yang
bernama Rescoe Pound dengan teori yang terkenal “law as a tool of social
engineering” . Di indonesia teori ini dikembangkan oleh Muhtar Kusuma Atmadja.
Kata ”tool” diartikannya sebagai sarana. Langkah yang diambil dalam sosial
engineering bersifat sistematis dimulai dari identifikasi problem sampai kepada
jalan pemecahannya yaitu :
1. Mengenal
problem yang dihadapi sebaik-baiknya. Termasuk didalamnya mengenali dengan
seksama masyarakat yang hendak menjadi sasaran dari penggarapan tersebut.
2. Memahami nilai-nilai yang ada dalam
masyarakat. Hal ini penting dalam hal sosial engineering itu hendak ditrerapkan
pada masyarakat dengan sektor-sektor kehidupan majemuk, seperti : tradisional ,
modern dan perencanaan. Pada tahap ini ditentukan nilai-nilai dari sektor mana
yang dipilih.
3. Membuat hipotesa-hipotesa dan memilih mana
yang paling layak untuk bisa dilaksanakan.
4. Mengikuti jalannnya penerapan hukum dan
mengukur efek-efeknya.
Langkah-langkah ini dapat dijadikan arah dalam menjalankan fungsi hukum sebagai alat
rekayasa sosial. bagaimana upaya hukum dapat merombak pemikiran, kultur maupun
sikap ataupun cara hidup seseorang agar dapat bertindak dan berbuat sesuai
tuntutan kehidupan. Bagaimana hukum dapat merubah orang yang selama ini “
tertidur” , setelah ada hukum menjadi “terjaga” .
Daftar
Pustaka
Mahfud MD, Moh. 1998. Politik Hukum di Indonesia. Jakarta :
Pustaka LP3ES Indonesia