Minggu, 02 Juli 2017

Hukum Dan Teori Dasar Berlakunya Hukum Internasional



A.    Hakekat Hukum Internasional
Hakekat Hukum Internasional dibagi menjadi dua pandangan, yaitu:
1.       Pandangan yang menganggap hukum Internasional itu hanyalah moral internasional; dan
2.      Pandangan yang menganggap hukum Internasional itu merupakan suatu produk hukum yang mengatur masyarakat Internasional.
Hakekat dan dasar berlakunya hukum Internasional didasarkan pada beberapa teori yang perlu untuk diperkenalkan, dipelajari dan difahami terkait dengan perkembangan hukum internasional. Menurut Scobbie teori memiliki fungsi untuk memformulasikan atau memberikan bimbingan bagi seseorang untuk berpikir terhada hal-hal yang bersifat praktis.
B.     Teori Dasar Berlakunya Hukum Internasional
Apabila hakekat hukum internasional tak perlu diragukan lagi, kembali kita menghadapi pertanyaan: apakah yang menjadi dasar kekuatan mengikat hukum internasional? Terkait dengan hal tersebut, ada beberapa teori yang mendasari berlakunya hukum internasional, yakni:
1.      Teori Hukum Alam (Natural Law)
Teori hukum alam adalah teori yang paling tua, dan ajaran hukum alam mempunyai pengaruh yang besar atas hukum internasional sejak permulaan pertumbuhannya. Karena hukum alam merupakan dasar filosofos hukum internasional yang cinta kebenaran atau kebajikan. Ajaran ini yang mula-mula mempunyai ciri keagammaaan yang kuat, yang dimana nilai-nilainya berasal dari Tuhan. Untuk pertama kalinya dilepaskan dari hubungannya dengan keagamaan itu oleh Hugo Grotius. Dalam bentuknya yang telah disekularisir maka hukum alam diartikan sebagai hukum ideal yang didasarkan atas hakekat manusia sebagai makhluk yang berakal atau kesatuan kaidah yang diilhami alam pada akal manusia. Keharusan yang dititahkan oleh akal manusia, adalah pikiran bahwa bangsa-bangsa di dunia yang beraneka ragam asal keturunan, pandangan hidup serta nilai hidupnya dapat bahkan harus hidup berdampingan dengan baik Menurut para penganut ajaran hukum alam ini, hukum internasional itu mengikat karena hukum internasional itu tidak lain daripada “hukum alam” yang diterapkan pada kehidupan masyarakat bangsa-bangsa.
Teori hukum alam dan konsep “hukum alam” telah mempunyai pengaruh besar dan baik terhadap perkembangan hukum internasional. Karena idealisme yang tinggi telah menimbulkan keseganan terhadap hukum iternasional dan telah meletakkan dasar moral dan etika yang berharga bagi hukum internasional, juga bagi perkembangan selanjutnya.
2.      Teori Positvisme
Teori positvisme di bagi menjadi kehendak negara dan kehendak negara bersama-sama. Teori-teroi yang mendasarkan berlakunya hukum internasional itu pada kehendak negara (teori voluntaris) ini merupakan pencerminan dari teori kedaulatan dan aliran positivisme yang menguasai alam pikiran dunia ilmu hukum di Benua Eropa-terutama Jerman pada bagian kedua abad ke-19.                                          
a.      Kehendak Negara
Aliran lain mendasarkan kekuatan mengikat hukum internasional itu atas kehendak negara itu sendiri untuk tunduk pada hukum internasional. Menurut mereka, pada dasarnya negaralah yang merupakan sumber segala hukum, dan hukum internasional itu mengikat karena negara itu atas kemauan sendiri mau tunduk pada hukum internasional. Aliran ini yang menyadarkan teori mereka pada falsafah Hegel yang dahulu mempunyai pengaruh yang luas di Jerman. Salah seorang yang paling terkemuka dari aliran ini adalah George Jellineck yang terkenal dengan “Selbst-limitation-theorie”-nya. Seorang pemuka lain dari aliran ini ialah Zorn yang berpendapat bahwa hukum internasional itu tidak lain daripada hukum tata negara yang mengatur hubungan luar suatu negara (auszeres Staatsrecht). Hukum internasional bukan sesuatu yang lebih tinggi yang mempunyai kekuatan mengikat di luar kemauan negara.
 Kelemahan teori-teori ini ialah bahwa mereka tidak dapat menerangkan dengan memuaskan bagaimana caranya hukum internasional yang tergantung dari kehendak negara dapat mengikat negara itu. Bagaimanakah kalau suatu negara secara sepihak membatalkan niatnya untuk mau terikat oleh hukum itu? Teori ini juga tidak dapat menjawab pertanyaan mengapa suatu negara baru, sejak munculnya dalam masyarakat internasional sudah terikat oleh hukum internasional lepas dari mau tidak maunya ia tunduk padanya. Juga adanya hukum kebiasaan tak terjawab oleh teori-teori ini. Berbagai keberatan tersebut dicoba diatasi oleh aliran lain dari teori kehendak negara yang hendak menyadarkan kekuatan mengikat hukum internasional pada kemauan bersama.

b.      Kehendak Negara Secara Bersama-sama
Triepel berusaha membuktikan bahwa hukum internasional itu mengikat bagi negara, bukan karena kehendak mereka satu per satu untuk terikat, melainkan karena adanya satu kehendak bersama, yang lebih tinggi dari kehendak masing-masing negara, untuk tunduk pada hukum internasional. Kehendak bersama negara ini, yang berlainan dengan kehendak negara yang spesifik tidak perlu dinyatakan, dinamakannya “Vereainbarung”. Vereinbarungstheorie ini mencoba menerangkan sifat mengikat hukum kebiasaan (customary law) dengan mengatakan bahwa dalam hal demikian kehendak untuk terikat diberikan secara diam-diam (impleid). Dengan melepaskannya dari kehendak individual negara dan mendasarkannya pada kemauan bersama (“Vereinbarung”), Triepel mendasarkan kekuatan mengikat hukum internasional pada kehendak negara tetapi membantah kemungkinan suatu negara melepaskan dirinya dari ikatan itu dengan suatu tindakan sepihak.
Segi lain dari teori kehendak diatas, yang pada hakekatnya hendak mengembalikan kekuatan mengikatnya hukum internasional itu pada kehendak (atau persetujuan) negara untuk diikat oleh hukum internasional ialah bahwa teori-teori ini pada dasarnya memandang hukum internasional sebagai hukum perjanjian antara negara-negara.
Di sinsi teori kehendak mempunyai titik pertemuan dengan teori alami tentang perjanjian. Menurut ajaran hukum alami yang klasik, hukum itu mengikat sekedar orang-orang (individu) mau terikat olehnya. Diterapkan pada masyarakat internasional yang pada waktu itu merupakan masyarakat antarnegara, teori ini sampailah pada kesimpulan yang sama dengan aliran teori kehendak.
Kesukaran teori-teori yang hendak menerangkan hakekat hukum (yaitu kekuatan dasar mengikat hukum itu) berdasarkan kehendak subyek hukum ialah bahwa dasar pikiran ini tidak bisa diterima. Kehendak manusia saja tidak mungkin merupakan dasar kekuatan hukum yang mengatur kehidupan. Sebab kalau demikian ia bisa melepaskan diri dari kekuatan mengikat hukum dengan menarik kembali persetujuannya untuk tunduk pada hukum internaasional menghendaki adanya suatu hukum ataau norma sebagai sesuatu yang telah ada terlebih dahulu, dan berlaku lepas dari kehendak negara (aliran obyektivitas).
3.      Mazhab Wina
Mazhab wiena menyatakan bahwa bukan kehendak negara melainkan suatu norma hukumlah yang merupakan dasar terakhir kekuatan mengikat hukum iternasional. Menurut mazhab ini kekuatan mengikat suatu kaidah yang lebih tinggi yang pada gilirannya didasarkan pada suatu kaidah yang lebih tinggi lagi dan demikian seterusnya. Akhirnya sampailah kita pada puncak piramida kaidah dimana terdapat kaidah dasar (Grundnorm) yang tidak dapat lagi dikembangkan pada suatu kaidah yang lebih tinggi, melainkan harus diterima adanya sebagai suatu hipotese asal (Grundnorm) hukum internasional.
Hans Kelsen sebagai bapak mazhab wiena menyatakan asas “pacta sunt servanda” sebagai kaidah dasar (Grundnorm) hukum internasional. Grundnorm sendiri merupakan suatu persoalan di luar hukum (metayuridis) yang tidak dapat diterangkan (mengapa kaidah dasar ini mengikat) dan hal inilah yang menjadi kelemahan dari teori ini, maka persoalan mengapa hukum internasional itu mengikat dikembalikan kepada nilai-nilai kehidupan manusia di luar hukum yakni rasa keadilan dan moral. Dengan demikian, teori mengenai dasar berlakunya atau kekuatan mengikat hukum internasional setelah mengalami perkembangan sekian lama, kembali lagi kepada teori yang tertua mengenai hal ini yakni teori hukum alam.
4.      Mazhab Prancis
Mazhab prancis mengemukakan kekuatan mengikat hukum internasional tidak dengan teori spekulatif dan abstrak melainkan menghubungkan dengan kenyataan hidup manusia. Mazhab Prancis dengan para pemukanya antara lain terutama fuuchile, Scelle, dan Duguit mendasarkan kekuatan mengikat hukum internasional seperti juga segala hukum pada faktor biologis, sosial, dan sejarah kehidupan manusia yang mereka namakan fakta kemasyarakatan (faitsocial) yang menjadi dasar kekuatan mengikatnya segala hukum, termasuk hukum internasional.
RUJUKAN
Kusumaatmadja, Mochtar. 1976. Pengantar Hukum Internasional. Bandung: Putrabardin.
Thontowi, Jawahir. Iskandar. 2006. HUKUM INTERNASIONAL KONTEMPORER. Bandung: Refika Aditama.
Starke. 1992.  PENGANTAR HUKUM INTERNASIONAL. Jakarta: Sinar Grapika.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar