A.
Hakekat
Hukum Internasional
Hakekat Hukum Internasional dibagi
menjadi dua pandangan, yaitu:
1.
Pandangan yang menganggap hukum Internasional
itu hanyalah moral internasional; dan
2.
Pandangan yang menganggap hukum
Internasional itu merupakan suatu produk hukum yang mengatur masyarakat
Internasional.
Hakekat dan dasar berlakunya hukum
Internasional didasarkan pada beberapa teori yang perlu untuk diperkenalkan,
dipelajari dan difahami terkait dengan perkembangan hukum internasional.
Menurut Scobbie teori memiliki fungsi untuk memformulasikan atau memberikan
bimbingan bagi seseorang untuk berpikir terhada hal-hal yang bersifat praktis.
B. Teori Dasar Berlakunya Hukum Internasional
Apabila hakekat hukum
internasional tak perlu diragukan lagi, kembali kita menghadapi pertanyaan:
apakah yang menjadi dasar kekuatan mengikat hukum internasional? Terkait dengan
hal tersebut, ada beberapa teori yang mendasari berlakunya hukum internasional,
yakni:
1. Teori Hukum Alam (Natural Law)
Teori hukum alam adalah
teori yang paling tua, dan ajaran hukum alam mempunyai pengaruh yang besar atas
hukum internasional sejak permulaan pertumbuhannya. Karena hukum alam merupakan
dasar filosofos hukum internasional yang cinta kebenaran atau kebajikan. Ajaran
ini yang mula-mula mempunyai ciri keagammaaan yang kuat, yang dimana
nilai-nilainya berasal dari Tuhan. Untuk pertama kalinya dilepaskan dari
hubungannya dengan keagamaan itu oleh Hugo Grotius. Dalam bentuknya yang telah
disekularisir maka hukum alam diartikan sebagai hukum ideal yang didasarkan
atas hakekat manusia sebagai makhluk yang berakal atau kesatuan kaidah yang
diilhami alam pada akal manusia. Keharusan yang dititahkan oleh akal manusia,
adalah pikiran bahwa bangsa-bangsa di dunia yang beraneka ragam asal keturunan,
pandangan hidup serta nilai hidupnya dapat bahkan harus hidup berdampingan
dengan baik Menurut para penganut ajaran hukum alam ini, hukum internasional
itu mengikat karena hukum internasional itu tidak lain daripada “hukum alam”
yang diterapkan pada kehidupan masyarakat bangsa-bangsa.
Teori hukum alam
dan konsep “hukum alam” telah mempunyai pengaruh besar dan baik terhadap
perkembangan hukum internasional. Karena idealisme yang tinggi telah menimbulkan
keseganan terhadap hukum iternasional dan telah meletakkan dasar moral dan
etika yang berharga bagi hukum internasional, juga bagi perkembangan
selanjutnya.
2. Teori Positvisme
Teori positvisme di
bagi menjadi kehendak negara dan kehendak negara bersama-sama. Teori-teroi yang
mendasarkan berlakunya hukum internasional itu pada kehendak negara (teori
voluntaris) ini merupakan pencerminan dari teori kedaulatan dan aliran
positivisme yang menguasai alam pikiran dunia ilmu hukum di Benua
Eropa-terutama Jerman pada bagian kedua abad ke-19.
a. Kehendak Negara
Aliran lain mendasarkan
kekuatan mengikat hukum internasional itu atas kehendak negara itu sendiri
untuk tunduk pada hukum internasional. Menurut mereka, pada dasarnya negaralah
yang merupakan sumber segala hukum, dan hukum internasional itu mengikat karena
negara itu atas kemauan sendiri mau tunduk pada hukum internasional. Aliran ini
yang menyadarkan teori mereka pada falsafah Hegel yang dahulu mempunyai
pengaruh yang luas di Jerman. Salah seorang yang paling terkemuka dari aliran
ini adalah George Jellineck yang terkenal dengan
“Selbst-limitation-theorie”-nya. Seorang pemuka lain dari aliran ini ialah Zorn
yang berpendapat bahwa hukum internasional itu tidak lain daripada hukum tata
negara yang mengatur hubungan luar suatu negara (auszeres Staatsrecht). Hukum
internasional bukan sesuatu yang lebih tinggi yang mempunyai kekuatan mengikat
di luar kemauan negara.
Kelemahan teori-teori ini ialah bahwa mereka
tidak dapat menerangkan dengan memuaskan bagaimana caranya hukum internasional
yang tergantung dari kehendak negara dapat mengikat negara itu. Bagaimanakah
kalau suatu negara secara sepihak membatalkan niatnya untuk mau terikat oleh
hukum itu? Teori ini juga tidak dapat menjawab pertanyaan mengapa suatu negara
baru, sejak munculnya dalam masyarakat internasional sudah terikat oleh hukum
internasional lepas dari mau tidak maunya ia tunduk padanya. Juga adanya hukum
kebiasaan tak terjawab oleh teori-teori ini. Berbagai keberatan tersebut dicoba
diatasi oleh aliran lain dari teori kehendak negara yang hendak menyadarkan
kekuatan mengikat hukum internasional pada kemauan bersama.
b. Kehendak Negara Secara Bersama-sama
Triepel berusaha
membuktikan bahwa hukum internasional itu mengikat bagi negara, bukan karena
kehendak mereka satu per satu untuk terikat, melainkan karena adanya satu
kehendak bersama, yang lebih tinggi dari kehendak masing-masing negara, untuk
tunduk pada hukum internasional. Kehendak bersama negara ini, yang berlainan
dengan kehendak negara yang spesifik tidak perlu dinyatakan, dinamakannya
“Vereainbarung”. Vereinbarungstheorie ini mencoba menerangkan sifat mengikat
hukum kebiasaan (customary law) dengan mengatakan bahwa dalam hal demikian
kehendak untuk terikat diberikan secara diam-diam (impleid). Dengan
melepaskannya dari kehendak individual negara dan mendasarkannya pada kemauan
bersama (“Vereinbarung”), Triepel mendasarkan kekuatan mengikat hukum internasional
pada kehendak negara tetapi membantah kemungkinan suatu negara melepaskan
dirinya dari ikatan itu dengan suatu tindakan sepihak.
Segi lain dari
teori kehendak diatas, yang pada hakekatnya hendak mengembalikan kekuatan
mengikatnya hukum internasional itu pada kehendak (atau persetujuan) negara
untuk diikat oleh hukum internasional ialah bahwa teori-teori ini pada dasarnya
memandang hukum internasional sebagai hukum perjanjian antara negara-negara.
Di sinsi teori
kehendak mempunyai titik pertemuan dengan teori alami tentang perjanjian.
Menurut ajaran hukum alami yang klasik, hukum itu mengikat sekedar orang-orang
(individu) mau terikat olehnya. Diterapkan pada masyarakat internasional yang
pada waktu itu merupakan masyarakat antarnegara, teori ini sampailah pada
kesimpulan yang sama dengan aliran teori kehendak.
Kesukaran
teori-teori yang hendak menerangkan hakekat hukum (yaitu kekuatan dasar
mengikat hukum itu) berdasarkan kehendak subyek hukum ialah bahwa dasar pikiran
ini tidak bisa diterima. Kehendak manusia saja tidak mungkin merupakan dasar
kekuatan hukum yang mengatur kehidupan. Sebab kalau demikian ia bisa melepaskan
diri dari kekuatan mengikat hukum dengan menarik kembali persetujuannya untuk
tunduk pada hukum internaasional menghendaki adanya suatu hukum ataau norma
sebagai sesuatu yang telah ada terlebih dahulu, dan berlaku lepas dari kehendak
negara (aliran obyektivitas).
3. Mazhab Wina
Mazhab wiena menyatakan
bahwa bukan kehendak negara melainkan suatu norma hukumlah yang merupakan dasar
terakhir kekuatan mengikat hukum iternasional. Menurut mazhab ini kekuatan
mengikat suatu kaidah yang lebih tinggi yang pada gilirannya didasarkan pada suatu
kaidah yang lebih tinggi lagi dan demikian seterusnya. Akhirnya sampailah kita
pada puncak piramida kaidah dimana terdapat kaidah dasar (Grundnorm) yang tidak
dapat lagi dikembangkan pada suatu kaidah yang lebih tinggi, melainkan harus
diterima adanya sebagai suatu hipotese asal (Grundnorm) hukum internasional.
Hans Kelsen sebagai
bapak mazhab wiena menyatakan asas “pacta sunt servanda” sebagai kaidah dasar
(Grundnorm) hukum internasional. Grundnorm sendiri merupakan suatu persoalan di
luar hukum (metayuridis) yang tidak dapat diterangkan (mengapa kaidah dasar ini
mengikat) dan hal inilah yang menjadi kelemahan dari teori ini, maka persoalan
mengapa hukum internasional itu mengikat dikembalikan kepada nilai-nilai
kehidupan manusia di luar hukum yakni rasa keadilan dan moral. Dengan demikian,
teori mengenai dasar berlakunya atau kekuatan mengikat hukum internasional
setelah mengalami perkembangan sekian lama, kembali lagi kepada teori yang
tertua mengenai hal ini yakni teori hukum alam.
4. Mazhab Prancis
Mazhab prancis
mengemukakan kekuatan mengikat hukum internasional tidak dengan teori
spekulatif dan abstrak melainkan menghubungkan dengan kenyataan hidup manusia.
Mazhab Prancis dengan para pemukanya antara lain terutama fuuchile, Scelle, dan
Duguit mendasarkan kekuatan mengikat hukum internasional seperti juga segala
hukum pada faktor biologis, sosial, dan sejarah kehidupan manusia yang mereka
namakan fakta kemasyarakatan (faitsocial) yang menjadi dasar kekuatan
mengikatnya segala hukum, termasuk hukum internasional.
RUJUKAN
Kusumaatmadja, Mochtar. 1976. Pengantar Hukum Internasional.
Bandung: Putrabardin.
Thontowi, Jawahir. Iskandar. 2006. HUKUM INTERNASIONAL KONTEMPORER.
Bandung: Refika Aditama.
Starke. 1992. PENGANTAR
HUKUM INTERNASIONAL. Jakarta: Sinar Grapika.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar